AhmadQusyairi Syafa'at is on Facebook. Join Facebook to connect with Ahmad Qusyairi Syafa'at and others you may know. Facebook gives people the power to share and makes the world more open and
AhmadHisyam Syafaat, KH. Ahmad Qusyairi Syafaat meninggal dunia setelah sebelumnya beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Blambangan Banyuwangi. KH. Ahmad Qusyairi adalah putra ketiga dari KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Yai Syafa'at Blokagung.
OLEH MUHYIDDIN Ulama merupakan pewaris para nabi. Dalam berdakwah, kalangan mubaligh mengajak umat untuk selalu berada di jalan sunnah Rasulullah SAW. Dalam kehidupan sehari-hari pun, perilaku mereka berupaya meniru keteladanan beliau. Salah seorang ulama yang tidak kenal lelah dalam melakukan syiar Islam adalah KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq. Namanya dikenal sebagai pencinta sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia sangat istikamah dalam mengamalkan tuntunan Rasul SAW, semisal puasa Arafah dan Asyura, shalat dhuha, atau shalat rawatib. Tentunya, ibadah-ibadah yang wajib pun menjadi hal yang utama baginya. Rasa cintanya kepada al-Musthafa shalallahu alaihi wasallam begitu besar. Itu tampak dari berbagai karyanya yang menghaturkan shalawat kepada beliau. Salah satu karangannya adalah Al Wasilatul Hariyyah yang berisi kumpulan puji-pujian untuk Nabi SAW. Dalam buku KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq Pecinta Sejati Sunnah Nabi, Hamid Ahmad mengungkapkan, tokoh tersebut tidak hanya dikenal alim atau memiliki derajat keilmuan yang tinggi. Tidak hanya ilmu syariat, kepakarannya juga meliputi disiplin falak atau astronomi. Dan, ulama itu juga menekuni dunia tasawuf sebagai seorang sufi. Tidak hanya ilmu syariat, kepakarannya juga meliputi disiplin falak atau astronomi. Sebagai pelaku tarekat, pribadi Kiai Achmad lekat dengan ciri-ciri khas salik. Misalnya, ia memiliki sifat tawadhu atau rendah hati. Hatinya benar-benar ikhlas mengabdi kepada Allah SWT. Karakteristik warak dan zuhud juga tertanam dalam dirinya. Tokoh ini selalu berhati-hati terhadap barang-barang yang diperolehnya. Tidak pernah sesuatu yang syubhat, apalagi haram, dikonsumsinya. KH Ahmad Qusyairi berasal dari Dukuh Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia lahir pada 11 Sya’ban 1311 Hijriah atau 17 Februari 1894 Masehi. Ulama ini merupakan putra keempat dari pasangan KH Muhammad Shiddiq bin Abdullah dan Nyai Maimunah. Ayahnya itu juga adalah seorang dai yang masyhur di tengah masyarakat. Tidak banyak yang bisa diungkap dari kehidupan masa kecil KH Ahmad Qusyairi. Namun, sejak kecil dirinya telah dikirim oleh sang ayah untuk memperdalam berbagai ilmu agama. Bapaknya ingin agar kelak Achmad menjadi seorang ulama besar. Untuk mewujudkan hal itu, ia pun melakukan rihlah keilmuan dari dari satu pondok ke pondok lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, ia pun melakukan rihlah keilmuan dari dari satu pondok ke pondok lainnya. Berbagai sumber menyebutkan, Achmad pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Ia juga pernah belajar kepada KH Khozin di Kajen, Pati. Gurunya yang lain adalah Kiai Umar di Semarang. Bahkan, semasa mudanya ia sempat menjadi santri Syakhona Kholil Bangkalan di Pulau Madura. Dari sang mursyid, dirinya mendapatkan banyak ilmu dan amaliah. Syaikhona Kholil sendiri dianggap sebagai maha guru para ulama Nusantara dan seorang wali kutub. Banyak santrinya yang juga menjadi wali dan kiai besar. Seorang ulama berpengaruh di Banyuwangi, KH Hasan Abdillah 1929-2012 mengatakan, Kiai Achmad Qusyairi menjadi murid Syaikhona sejak masih remaja. Lebih lanjut, tutur Kiai Hasan, pada suatu waktu guru mereka itu menyuruh para santri agar tidak tidur kala malam hari bulan Ramadhan. Tujuannya mencari keberkahan Lailatul Qadar. Para murid itu mematuhi anjuran sang syekh. Di antara mereka adalah Achmad muda. Saat itu, pemuda tersebut mengira bahwa Lailatul Qadar adalah sebuah benda. Karena itu, ia berusaha mencarinya ke sana kemarin, tetapi tidak pernah menemukannya pada malam itu. Setelah lelah berkeliling, remaja ini pun tertidur pulas. Memasuki dini hari, Syaikhona mulai berjalan ke berbagai tempat di kompleks pesantren guna mengawasi para santrinya. Tak lama kemudian, Syaikhona terkejut karena melihat seberkas cahaya pada tubuh kecil seorang santri. Ia pun mendekati sosok santrinya itu. Waktu itu, lampu penerang belum lumrah dimiliki. Untuk menandai sosok santri yang menjadi sumber cahaya itu, sang mahaguru mengikat ujung sarung muridnya tersebut. Tak lama kemudian, Syaikhona terkejut karena melihat seberkas cahaya pada tubuh kecil seorang santri. Seusai shalat Subuh, Syaikhona membuat pengumuman. Semua santri dikumpulkan lalu diberikan pertanyaan. “Siapa di antara kalian yang merasa sarungnya ada tali simpul?” tanya sang alim. Karena takut, kebanyakan santri terdiam. Mereka tidak berani menjawab. Achmad, yang menemukan bahwa sarungnya terikat, juga tidak berani menjawab. Ia merasa bersalah karena justru tertidur pulas pada malam yang penting itu. Padahal, Syaikhona sudah menyuruh semua santri untuk begadang. Namun, rasa takut dalam dirinya berubah jadi penyesalan. Usai gurunya mengulangi pertanyaan, pemuda ini pun mengacungkan jarinya. Diakuinya bahwa sarungnya dalam kondisi terikat. Bukannya marah, Syaikhona justru langsung menyerukan kepada para santrinya. Mereka dipersilakannya sejak saat itu mengaji kepada Achmad Qusyairi. Maka, sejak hari itu banyak santri belajar kepada Achmad. Itulah pengalaman yang tidak terlupakannya selama menjadi murid sang waliyullah di Pulau Garam. Saat berusia 20 tahun, Achmad menikah dengan seorang gadis yang hafal Alquran 30 juz. Sebenarnya, ia waktu itu merasa malu karena perempuan tersebut sudah menjadi hafizah. Ia sendiri belum bisa menghafalkan Kitabullah secara utuh karena selama ini berfokus pada menimba ilmu-ilmu keagamaan. Saat berusia 20 tahun, Achmad menikah dengan seorang gadis yang hafal Alquran 30 juz. Achmad akhirnya memantapkan niatnya untuk belajar lagi. Setahun sejak pernikahannya, ia dapat kesempatan untuk berangkat ke Tanah Suci. Selama di Makkah, dirinya tidak hanya menunaikan ibadah haji, tetapi juga rutin menghafalkan Alquran. Hanya dalam kuran waktu tiga bulan, ia berhasil menghafalkan 30 juz sehingga menjadi seorang hafiz. Tercatat, Kiai Achmad sudah beberapa kali pulang ke Indonesia dan kembali ke Makkah untuk beribadah haji dan menimba ilmu. Saat Perang Dunia I meletus, ia sempat tidak bisa pulang. Sebab, angkutan pelayaran terganggu oleh pecahnya konfik di beberapa negeri. Alhasil, mubaligh ini mesti menambah durasi mukimnya di kota kelahiran Nabi SAW itu hingga lima tahun ke depan. Selama di Makkah, dia juga mendapatkan lisensi untuk mengajar fikih empat mazhab di Masjidil Haram. Hal ini menjadi bukti ketinggian ilmu Kiai Achmad. Sebab, mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di Tanah Suci tidaklah mudah. Seseorang harus melalui seleksi yang ketat terlebih dahulu. Menolak jabatan Setelah melalang buana ke berbagai negeri untuk belajar ilmu agama, KH Achmad Qusyairi tiba pada momen mengamalkan ilmu di institusi yang tetap. Lembaga pertama tempatnya berkiprah ialah Pondok Pesantren Salafiyah Panggung Rejo, Pasuruan. Selama menjadi pengasuh, diri dan keluarganya tinggal di lingkungan pesantren yang saat itu dipimpin mertuanya, KH Yasin. Menurut KH Hasan Abdillah, Kiai Achmad merupakan menantu yang sangat disayang oleh Kiai Yasin. Maklum, antara keduanya terdapat kesamaan prinsip. Sampai sang mertua wafat, ulama ini terus melanjutkan peran sebagai pengajar dan pengurus pondok pesantren tersebut. Cukup banyak pengajian yang digelar oleh Kiai Achmad. Selain mengajar di lingkungan Ponpes Salafiyah, ia juga kerap mengisi acara keislaman di luar pesantren. Jangkauan dakwahnya tidak hanya di Pasuruan, tetapi sampai pula ke Gresik, Madura, dan sejumlah daerah lainnya di Jawa Timur. Selama berfokus pada menebarkan syiar Islam, reputasinya kian menanjak. Pada 1945, datanglah tawaran kepadanya untuk menjadi adipati Pasuruan. Ceritanya bermula pada saat sejumlah ulama berkumpul di Masjid Jami’ al-Anwar guna mengadakan pemilihan adipati. Hasilnya, mereka sepakat untuk memilih Kiai Ahmad sebagai pengisi jabatan tersebut. Pada 1945, datanglah tawaran kepadanya untuk menjadi adipati Pasuruan. Mereka menilai, sosok Kiai Achmad begitu populer di tengah masyarakat. Kaum Muslimin saat itu ingat bagaimana sikap antipenjajahan yang ditunjukkan sang alim. Di samping itu, tentunya ia dipandang ahli dalam bidang ini serta mampu mengusai bahasa asing. Akan tetapi, Kiai Achmad saat itu menolak untuk menjadi adipati. Ia hanya ingin menjadi orang biasa yang fokus dalam menyebarkan syiar Islam dan beribadah kepada Allah. Setelah itu, ia hijrah ke Jember, tepatnya di sebuah desa kecil yang bernama Jatian. Alasannya, sang kiai kala itu sedang dikejar-kejar Belanda terkait kabar pencalonannya sebagai adipati Pasuruan. Kemudian, ia berhijrah lagi ke ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Desa Glenmore, Banyuwangi. Selama menetap di sana, Kiai Achmad tentu tak lupa untuk selalu berdakwah. Namun, metode syiar Islam yang dilakukannya kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Sebab, umumnya masyarakat di daerah tersebut berwatak keras. Bahkan, mereka juga bersikap permisif terhadap maksiat dan kejahatan, seperti mencuri, mabuk-mabukan, atau membunuh. Karena itu, dakwah Kiai Achmad terasa lebih berat. Namun, dengan ketabahan dan kesabarannya dalam mengajar dan berdakwah, lambat laun masyarakat mulai berubah. Banyak di antara mereka yang memegang teguh nilai-nilai Islam serta mencintai ulama. Kiai Achmad Qusyairi dikenal sebagai alim dalam bidang fikih, falak, dan sastra Arab. Tidak hanya itu, reputasinya juga dikenang sebagai salah seorang ulama Nusantara yang produktif. Di antara karya-karyanya adalah Tanwirul hija nazhmu safinatin naja, Ar-Risalatul Lasimiyah fi Adabil Akli wasy Syarb Risalah Lasem tentang Tatakrama Makan dan Minum, Izharul Bisyaroh membahas tentang hadrah, dan Al Wasilatul Hariyyah kumpulan salawat Nabi. Menjadi Kolumnis Hingga Pembimbing Haji KH Achmad Shiddiq bisa dibilang sebagai seorang kiai yang multitalenta. Selain mengajar, kesibukannya juga pada dunia tulis menulis. Ia tercatat pernah menjadi penyumbang tulisan pada salah satu media massa yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama NU. Salah seorang putranya, KH Hasan Abdillah, menceritakan keuletan sang alim. Menurut Kiai Hasan, ayahnya itu pernah memiliki hubungan erat dengan KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri NU. Pada saat itu, sang hadratus syekh membuka salah satu media percetakan di Tebuireng, Jombang. Kemudian, Kiai Hasyim meminta Kiai Achmad agar menjadi salah satu penulis untuk koran tersebut. Permintaan itu pun disanggupinya. Akan tetapi, Kiai Achmad lantas mengajukan syarat, yakni hanya ingin menulis dengan menggunakan Arab pegon, bukan aksara Latin. Sebab, dalam pemikirannya waktu itu, tulisan Latin identik dengan identitas kultural kolonial. Kiai Hasyim meminta Kiai Achmad agar menjadi salah satu penulis untuk koran tersebut. Seiring berjalannya waktu, tulisan yang dicetak dalam koran tersebut berciri hybrid. Sebagian ditulis dengan aksara Arab pegon. Lainnya menggunakan huruf Latin. Sejak saat itu, Kiai Achmad pun enggan untuk menulis lagi di media koran NU yang dikelola oleh Tebuireng tersebut. Sebagai seorang ulama yang pernah bermukim di Makkah, Kiai Achmad juga berpengalaman dalam mengurus jamaah haji. Ia pun menjadi badal syekh atau penyalur jamaah dari Indonesia menuju Makkah. Perannya mirip dengan fungsi kelompok bimbingan ibadah haji KBIH kini. Mulai dari mencari jamaah, mendaftarkan, hingga memberangkatkan mereka ke Tanah Suci. Terkadang, menurut Kiai Hasan Abdillah, Kiai Achmad tidak hanya mengantarkan jamaah sampai ke pelabuhan di Jawa, tetapi juga menemani hingga Makkah. Acap kali, kapten kapal terkesan dengan kemampuan sang kiai dalam berbahasa Belanda. Pernah pula dirinya diajak untuk ikut ke Jeddah tanpa paspor. Acap kali, kapten kapal terkesan dengan kemampuan sang kiai dalam berbahasa Belanda. Pada tahun 1971 Masehi, Kiai Achmad menunaikan ibadah haji untuk terakhir kalinya. Setelah kembali ke Indonesia lagi, ajal menghampirinya. Ulama tersebut berpulang ke rahmatullah pada Selasa pagi, tanggal 22 Syawal 1392 Hijriah atau 28 November 1972. Ia meninggal di kediaman menantunya, Kiai Abdul Hamid, di Pasuruan. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Agung Al-Anwar Pasuruan. Seperti para ulama lainnya, makam sang kiai banyak didatangi para peziarah dari berbagai daerah. Terlebih ketika Kamis malam, jamaah banyak yang berdatangan untuk mendoakannya. Takjauh dari kediaman KH Hasyim Syafa'at, Gus Ipul melanjutkan muhibah kunjungannya ke kediaman KH Ahmad Qusyairi Syafa'at. Dari keluarga ini, mantan Ketua Umum GP Ansor itu, juga mendapat sambutan luar biasa. "Semoga Gus Ipul diqobul semua harapan kebaikannya," kata Kiai Mad-sapaan KH Ahmad Qusyairi saat memberi sambutan. Vous êtes le Dr Khoury Samir ? Créez un compte gratuitement sur notre site web afin de compléter les informations qui figurent sur votre fiche. Ces informations aideront vos patients à en savoir plus sur vous les langues que vous parlez, les divers lieux où vous exercez, vos horaires de travail etc. Compléter mes informations KH ALY ASYIQIN mengatakan bahwa yang paling ahli dalam mengelola keuangan Yayasan di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi adalah K H. AHMAD MUNIB SYAFA'AT yang sekaligus rektor IAIDA. Sistem yang di gunakan adalah keuangan di sentralkan menjadi satu dari beberapa unit baik dari Pesantren, Madrasah, MTs, SMP, MA, SMK, maupun SMA 543396.